Menilik perubahan MBKM menjadi Kampus Berdampak


Pada 2 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) resmi meluncurkan program Kampus Berdampak. Program ini diperkenalkan sebagai kelanjutan dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang sebelumnya sudah berjalan.

Menurut Dirjen Kemendiktisaintek, Khairul, kampus berdampak bukan hanya soal publikasi ilmiah dan peringkat global. Lebih dari itu, kampus diharapkan menjadi agen perubahan sosial yang aktif menyelesaikan masalah nyata di masyarakat.

Program ini hadir sebagai respons atas evaluasi MBKM, yang dinilai belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri dan belum optimal dalam meningkatkan kualitas lulusan.

Dari MBKM ke Kampus Berdampak, apa bedanya?

MBKM menekankan kebebasan belajar: magang, proyek desa, pertukaran pelajar, studi independen.

Kampus Berdampak menekankan hasil nyata dari proses pendidikan, khususnya dampak langsung ke masyarakat dan lingkungan sekitar.

Program-program dalam Kampus Berdampak 

Program ini mencakup lebih dari 20 kegiatan mahasiswa, seperti:

  • PKM & PIMNAS (riset dan kreativitas mahasiswa)
  • Magang Berdampak (pengalaman kerja berbasis pengabdian)
  • PPK Ormawa & Abdidaya (pemberdayaan organisasi mahasiswa)
  • KDMI & NUDC (kompetisi debat nasional)
  • Satriadata, GEMASTIK, LIDM (kompetisi teknologi dan data)
  • KRI, KRTI, KMHE, KBGI, KJI (kontes robot, kapal, jembatan, energi, dll.)
  • Pilmapres, MTQ Mahasiswa Nasional, POMNAS, dan banyak lagi.

Potensi dalam program Kampus Berdampak 

  • Pendidikan tinggi jadi lebih kontekstual dan relevan
  • Kolaborasi antara kampus, industri, dan masyarakat lebih kuat
  • Mahasiswa punya kesempatan menyumbang langsung untuk pengentasan masalah sosial
  • Lulusan diharapkan lebih siap menghadapi dunia kerja sekaligus peka sosial
Meski terdengar progresif, program ini tak lepas dari kekhawatiran
  • Fokus besar pada pasar kerja bisa menggeser orientasi pendidikan dari membentuk cara berpikir menjadi sekadar penyedia tenaga kerja
  • Ilmu humaniora seperti sastra, filsafat, sosiologi, sejarah bisa makin terpinggirkan karena tak dianggap “menjual”
  • Ketimpangan akses antara kampus besar dan kecil akan memperlebar jurang ketidakadilan
  • Beban administratif dan operasional bisa bertambah, baik bagi dosen maupun mahasiswa
  • Mahasiswa berisiko hanya menjadi objek program, bukan subjek aktif yang merumuskan arah kebijakan


Lebih baru Lebih lama