Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Sejarah selalu menjadi perhatian penting dalam pembangunan bangsa. Menelisik masa lalu kerap dihadapkan dengan buruknya kekuasaan dan dominasi kebenaran. Peranan penting mengingat sejarah karena sejarah cerminan masa kini dan penentu masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu, penting bagi suatu bangsa untuk memiliki catatan sejarah yang objektif dari hasil kolektif.
Belakangan tengah mencuat isu penulisan ulang sejarah Indonesia. Ini bukan kali pertama bagi pemerintah untuk menerbitkan ulang catatan sejarah bangsanya. Sebelumnya, dilansir dari laman bbc.com pada Tahun 1975 telah diterbitkan Buku Sejarah Nasional Indonesia yang terdiri dari enam jilid. Kemudian, pada Tahun 2010-an pemerintah juga mensponsori penyusunan dan penerbitan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terdiri dari 9 jilid dan 4.500 halaman. Seiring berjalanya waktu, pemerintah kini menggalakkan kembali penerbitan ‘buku babon’ sebagai bentuk revisi sejarah yang pernah dituliskan sebelumnya dan akan dijadikan buku sejarah resmi Indonesia. Penulisan ulang ini dicanangkan selesai pada 17 Agustus dan dijadikan kado Kemerdekaan RI ke-80.
Kebijakan penulisan ulang sejarah tentu memicu banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Sebagai upaya meredam hal tersebut, berdasarkan keterangan yang dikutip dari laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan yang menggagas proyek ini menerangkan bahwa urgensi penulisan ulang sejarah adalah untuk menghapus bias kolonial, menguatkan identitas nasional, hingga menjawab tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.
Indonesia- Centris atau Kuasa Centris
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kebudayaan menggunakan pendekatan Indonesia-Centris dalam pendekatan penulisan ulang sejarah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Fadli Zon bahwa metode pendekatan yang digunakan berbeda dari narasi lama yang masih dipengaruhi sudut pandang kolonial.
Pendekatan Indonesia-Centris dapat menjadi angin segar yang membawa perubahan paradigma sejarah bangsa. Artinya, akan terjadi desentralisasi atau penyebaran narasi sejarah yang mencakup Sabang-Merauke. Akan tetapi, komitmen penggunaan pendekatan semacam ini harus terus diperhatikan agar tidak sekadar kamuflase historis semata.
Sejarah Bukan Milik Negara Semata
Sejarah bukan sekadar rekam jejak para pemenang, melainkan memori kolektif dan identitas nasional suatu bangsa. Dalam sejarah, suatu bangsa akan belajar tentang makna pengorbanan. Maka dari itu, menulis ulang sejarah menjadi babak baru dan kesempatan bagi semua kalangan untuk turut dituliskan dalam lembaran sebagai penghargaan atas pengorbanannya.
Fakta yang terjadi dalam penulisan ulang sejarah menunjukkan ekslusifitas. Sejarawan Mohammad Refi Omar Ar Razy menilai kerangka buku yang beredar narasinya masih terpusat pada negara dan tidak dekat dengan kehidupan masyarakat. Penyusunan ulang sejarah masih terpaku pada pengedepanan perang, kejatuhan, perjuangan, dan tokoh kepahlawanan yang rawan akan menjadi mitos baru.
Posisi perempuan dalam penulisan ulang sejarah kurang diperhatikan. Padahal, banyak perempuan masa silam yang mempunya peranan menonjol seperti Suwarsih Djoyopuspito, seorang guru perempuan di tahun 1938-39 yang pernah menulis novel. Sudah seharusnya pemerintah memberikan bab khusus atau sub bab khusus untuk menulis ulang sejarah peranan perempuan dalam membangun bangsa ini.
Selain itu, Sejarawan sekaligus Ketua Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Cenderawasih, Albert Rumbekwan mengkritik akibat minimnya peristiwa di Papua yang dimasukkan ke dalam penulisan ulang sejarah. Isu-isu sensitif yang berkaitan dengan pelanggaran HAM dan keinginan masyarakat Papua untuk merdeka seharusnya menjadi sorotan utama dalam menuliskan Papua dalam bingkai sejarah Indonesia.
Dominasi kebenaran dalam literatur sejarah yang ada sekarang menuntut untuk dilakukannya penulisan ulang. Sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian melihat selama ini negara dijadikan satu-satunya sumber kebenaran dalam penulisan sejarah. Akibatnya, ketika melihat korban pelanggaran HAM yang terjadi adalah menilai korban sebagai tokoh yang memberontak.
Hasrat Kuasa Menghapus Dosa
Sejarah adalah teks multitafsir, bukan mantra suci penguasa. Netralitas dari tafsir sejarah tidak mungkin terjadi. Sejarah adalah pertarungan tafsir antar kelompok. Oleh karena itu, ketika negara mengambil alih penulisan tunggal maka yang terjadi adalah tafsir tunggal. Anggota komisi X DPR RI, Bonnie Triyana mengulas bahwa sejarah ke belakang kerap dijadikan alat legitimasi semata. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai ‘sejarah resmi’, tetapi versi yang ditulis negara pada akhirnya bekerja sebagai sejarah yang resmi.
Kekhawatiran atas proyek penulisan ulang sejarah ini bukan datang dari luar sistem, tetapi justru bergema dari dalam parlemen. Anggota Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru dari Fraksi NasDem, mengingatkan bahwa meskipun buku sejarah tersebut bukan “sejarah resmi negara,” dampaknya terhadap kesadaran kolektif bangsa tidak bisa diremehkan. Sejarah, bagaimanapun bentuknya, memiliki daya membentuk cara berpikir generasi masa depan. Oleh karena itu, jika proses penyusunannya tertutup dan steril dari koreksi, maka proyek ini berpotensi menjadi instrumen ideologis yang menekan kebebasan akademik.
Sayangnya, keterbukaan itu belum tampak. Tidak ada mekanisme publik yang memungkinkan kelompok korban, sejarawan kritis, atau masyarakat sipil untuk terlibat. Di sinilah letak kecurigaannya: jika tim penyusun menutup pintu terhadap penyintas dan hanya membuka jendela pada kekuasaan, maka sejarah yang lahir bukan untuk kebenaran, tetapi untuk kenyamanan penguasa.
Minimnya sosialisasi terhadap proyek penulisan ulang sejarah ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan gejala serius dari cara kerja yang tertutup dan eksklusif. Ketiadaan seminar, uji publik, atau forum diskusi terbuka memperlihatkan bahwa proses ini tak pernah benar-benar ingin melibatkan masyarakat. Jika sejarah ditulis tanpa partisipasi publik, maka yang lahir bukan narasi bangsa, melainkan dokumen kekuasaan. Inilah yang patut diwaspadai: sebuah sejarah yang dibungkam sejak dalam prosesnya akan melahirkan kebenaran semu dan menyisakan luka yang diwariskan secara turun-temurun.
Hilangnya Diksi Keilmuan
Penulisan ulang sejarah Indonesia tampaknya tak sekadar menyusun narasi baru, tetapi juga sedang mengatur ulang batas-batas ilmu pengetahuan sesuai selera kekuasaan. Hal ini terlihat dari penggantian istilah “Prasejarah” menjadi “Sejarah Awal” dalam buku jilid pertama, yang langsung memicu pengunduran diri Prof. Harry Truman Simanjuntak, salah satu arkeolog terkemuka dan editor awal proyek ini.
Alih-alih sebagai penyegaran terminologis, perubahan ini justru mencederai disiplin keilmuan yang telah mapan secara global. Dalam surat pengunduran dirinya, Prof. Harry menyebut keputusan itu sebagai bentuk “penghapusan nomenklatur keilmuan” yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Lebih dari sekadar soal istilah, keputusan ini menandai kecenderungan baru yang mengkhawatirkan: ilmu pengetahuan mulai dipaksa tunduk pada logika kekuasaan. Sejarah bukan lagi ruang kritis yang merekam jejak masa lalu secara objektif, melainkan sedang dikonstruksi ulang menjadi dokumen ideologis. Ketika konsep pun dipelintir, maka yang dipertaruhkan bukan hanya akurasi sejarah, tetapi integritas keilmuan itu sendiri.
Penulisan ulang sejarah harus menjadi proyek akademik dan publik yang transparan, terbuka, dan mengakui bahwa sejarah adalah teks multitafsir. Jika ia dijadikan alat kekuasaan, maka yang kita wariskan pada generasi mendatang bukanlah ingatan akan jasa para pahlawan, melainkan sekadar cerita yang dipalsukan.
Penulis: Muhamad Seha, Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung