Akhir-akhir ini saya menonton banyak film dan film ini menjadi salah satu yang mengganggu pikiran saya. Bukan hanya karena visualisasi yang bagus, tetapi pesan yang disampaikan membuat saya berpikir ulang mengenai keberadaan Tuhan yang mengizinkan adanya kejahatan di dunia. Saya merasa ngeri melihat penderitaan yang terus menimpa negeri penuh konflik.
Saya membayangkan betapa kacaunya hidup dalam bayang-bayang rasa takut, bahkan ketakutan itu masuk ke bawah tempat tidur. Hingga pada akhirnya tak ada lagi tempat untuk berlindung. Yang tersisa dari rumah hanyalah beton-beton putus asa yang tak lagi mampu menahan rasa sakit. Menariknya, kita masih bisa membayangkan suatu tempat yang membuat hidup kita dalam kedamaian. Hal inilah yang menurut saya keunikan dari film The Sand Castle.
Film ini diproduksi oleh Lebanon dan UEA yang disutradarai oleh Matty Brown. The Sand Castle tayang di Netflix 24 Januari 2025 lalu, film ini menarik kita ke tempat renungan, di mana kita dapat melihat antara fiksi dan kenyataan menjadi satu-satunya ruang yang paling penting setelah kekerasan dan tragedi terjadi. Kisah ini berangkat dari imajinasi Jana, seorang gadis yang diperankan oleh Riman Al Rafeea, muncul dari balik terpal biru misterius, dengan rapalan nyanyian berhasil membuat kesan bahwa dirinya jauh dari jangkauan orang-orang luar, ia berada di surga tersembunyi bersama keluarganya, hal ini memberikan kesan bahwa tempat ini adalah bentuk perlindungan terakhir bagi keluarganya dalam melawan ketidakpastian.
Lalu waktu berjalan sangat lambat dan pertanyaan kita tentang alasan keluarga ini berada di pulau tandus itu seperti ombak menabrak karang di tepi dermaga. Sialnya kita harus menunggu, dan kita tak menemukan jawaban pasti, karena film ini sengaja tidak menjelaskan secara eksplisit mengapa mereka berada di sana, film ini membiarkan kita sebagai penonton menafsirkan sendiri makna yang tersirat di dalam cerita.
Karakter tokoh dalam film ini memberikan kesan yang saling menguatkan.. Yasmine yang diperankan Nadine Labaki sebagai sosok ibu rumah tangga yang menawarkan kebahagiaan di balik keterbatasan pasokan makanan dan air bersih di pulau itu, Nabil yang diperankan oleh Ziad Bakri digambarkan sebagai sosok Ayah yang memiliki banyak akal untuk melindungi keluarganya dari berbagai ancaman dan Adam yang diperankan oleh Zain Al Rafeea digambarkan sebagai kakak yang putus asa dan pesimis. Namun seiring berjalannya waktu, Adam terpaksa menanggung karakter orang tuanya sebagai bentuk kasih sayang terhadap saudarinya. Yap, The Sand Castle adalah sebuah alegori yang menggambarkan perjuangan manusia dalam menghadapi kehidupan.
Di tengah ketenangan, keluarga ini mengalami berbagai konflik yang misterius, The Sand Castle berubah menjadi sesuatu yang menghancurkan secara emosional. Berawal dari badai pasir yang menimpa mereka, Ayahnya mengalami kekerasan misterius yang membuat ia menjadi lumpuh, Ibunya tenggelam saat menyelamatkan Jana, semuanya digambarkan secara terputus. Semuanya terlihat menjadi lebih muram, ketika Jana dalam ingatannya berjalan di tumpukan mayat. Semuanya terlihat putus asa ketika bom meledak saat Jana sedang belajar di sekolahnya bersama adik manisnya yang memakai sepatu merah. Semuanya terlihat lebih gelap ketika dalam ingatannya, Jana diajak berkumpul untuk foto bersama, sementara ia tahu bahwa mereka sudah tiada.
Suasana misterius ini diperkuat dengan beberapa elemen sinematik yang mendukung, seperti radio tua berantena panjang yang putus asa menangkap gelombang, walkman klasik yang digunakan Adam, generator bodol yang mengakibatkan lampu mercusuar susah menyala, hal ini memberikan kesan mereka hidup di luar batas waktu yang tidak jelas. The Sand Castle bukan sekadar kisah alegori yang menggambarkan perjuangan manusia dalam menghadapi kehidupan. Jauh daripada itu, film ini mengajak penonton memahami bahwa imajinasi bisa menjadi alat bertahan hidup.
Menurut saya, The Sand Castle berhasil menyampaikan pesan kemanusian yang mendalam dengan alur yang memukau. Selain itu, pulau yang berbentuk cinta yang pada akhirnya tenggelam, saya anggap sebagai bentuk satir kepada dunia luar yang bisu melihat mereka terisolasi dengan menunggu perdamaian yang utopis. Terlepas dari itu, film ini menggunakan teknik slow burn, yang membuat film ini menjadi terbatas penikmatnya, karena perkembangan alurnya yang lambat cukup melelahkan, tapi di sini saya menikmati slow burn karena membuat kisah ini terkesan melankolis dan penuh perenungan.
Penulis: Tegar TP