Opini, Naraya News - Pandemi tidak hanya mengubah pola interaksi antar manusia satu dengan lainnya, seluruh lini kehidupan mendadak dipaksa agar mengikuti arah sesuai narasi yang dihadirkan akibat munculnya Corona Virus Disease-19. Tuduhan bahwa Covid-19 adalah alasan dari perubahan kebiasaan societas sampai pada tersentuhnya bidang politik, ekonomi dan pendidikan dengan kultur baru, bertebaran secara masif, berkelindan mulai dari lingkup diskusi formal sampai keluh kesah seorang ayah pada keluarganya. Berjalan hampir 2 tahun kita lalui hidup dengan wajah dunia baru, kembali teringat kala Menteri Pendidikan melalui Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Corona Virus Disease (Covid-19), menuntut penerapan gaya pengajaran dari tatap muka bertransformasi menjadi dari layar ke layar. Memang teknologi bukan hal biasa kala dikaitkan pada masyarakat abad ke- 21. Kehidupan yang sudah diwarnai dan erat bersahabat dengan teknologi, penetrasi media sosial contohnya sudah menjadi barang konsumtif masyarakat urban saat ini. Namun apakah selaras juga dengan pemaksimalan pemanfaatan platform digital pada bidang lainnya, seperti bukan hanya dijadikan dunia sampingan sebagai cermin "kehidupan” personal, melainkan juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada situasi pandemi, perkuliahan online adalah alternatif bagi hampir seluruh lembaga pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, mereka saling berlomba untuk menemukan metode agar transmisi bahan ajar bisa disalurkan dengan optimal, efektif dalam mengakomodasi dan memobilisasi sistem kurikulum darurat ini, meski memang di sebagian daerah sudah menerapkan pendidikan tatap muka dengan protokol kesehatan dan teknis yang sudah disesuaikan.
Dinamika Pendidikan Ala Pandemi
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah segala usaha dari orang tua terhadap anak anaknya dengan maksud menyokong kemajuan hidupnya. Dengan makna yang lebih luas lagi bahwa di dalam pendidikan tidak hanya bicara tentang memberi dan membagi, di dalamnya terdapat tuntunan dan bimbingan hingga mencapai titik di mana peserta didik menemukan poin kemajuan hidupnya. “Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya tidak semua anak bisa mendapatkan guru dan metode pendidikan yang tepat”. Maka sangat penting bagi pengajar untuk memiliki kapabilitas dan kreatifitas guna menangani masa-masa sulit ini. Terkadang dalam pengajaran konvensional, masih saja ada sebagian pelajar yang sulit untuk memahami apa yang disampaikan pengajar. Terlebih dengan kurikulum darurat seperti ini, tantangan baru muncul di saat tantangan yang lalu belum bisa dihadapi dengan maksimal. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas serentak melakukan penyeragaman instrumen pengajaran, dengan melalui kebijakan belajar dari rumah. Dengan maksud agar proses mengajar tetap berjalan, anggapan “belajar dari rumah” pada sebagian besar masyarakat malah masih dipersepsikan sebagai liburan. Jalan keluar dari permasalahan menghadapi pandemi ternyata berujung pada timbulnya masalah baru, seorang guru akan lebih sulit lagi untuk mengaplikasikan perannya sebagai pembimbing, orang tua wali sekaligus penanggung jawab progres anak didiknya. Beranjak pada jenjang Perguruan Tinggi, platform digital mulai digunakan secara masif dalam berbagai mata kuliah saat kebijakan belajar dari rumah digalakkan. Terjadi upaya optimalisasi penggunaan sarana teknologi yang selanjutnya kita kenal dengan istilah “e-learning”, dan pertemuan daring melalui “video-conference”. Namun pada realitanya kebanyakan dosen hanya meletakkan materi tanpa adanya feedback dan interaksi saat jadwal kuliah berlangsung. Bahkan seiring berjalannya waktu, kejenuhan dan rasa malas pada akhirnya menghampiri, intensitas ketertarikan mahasiswa terhadap kuliah daring menjadi sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan kebanyakan dari mereka hanya mengisi presensi, tidak lagi aktif dan memilih kembali menjalani rutinitasnya di rumah. Ditambah kerentanan cakupan jaringan internet yang belum merata ke seluruh daerah, hal ini diafirmasi oleh data dari berbagai sumber bahwa masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang saat ini belum adanya sinyal 4G. Dengan tidak meratanya kualitas jaringan internet, akan sangat menghambat keefektifan kebijakan belajar dari rumah. Bisa kita sepakati bahwa melalui pendidikan, kita akan tahu akan ke arah mana Indonesia menyongsong masa depannya, menjadi bangsa yang beradab, cerdas dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman atau tenggelam bak perahu karam akibat gelombang pasang.
Hidup tak selalu dinamis, begitu pula yang terjadi pada sistem pendidikan sekarang. Masyarakat harus dapat mengintegrasikan dirinya terhadap lingkungan, artinya pendidikan harus bisa mulai disesuaikan dengan realitas. Ketersediaan akses internet, software, gadget, listrik dan pendukung lainnya akan menjadi komponen penting dalam kurikulum pendidikan masa depan. Mengambil hikmah dari satu sisi bahwa pandemi mendorong umat manusia agar tidak merangkak kala modernitas menuntut mereka agar berlari, hal ini merupakan konsekuensi vital dari perkembangan teknologi yang pada akhirnya menjadi solusi.
Menyongsong Pendidikan Masa Depan
Evolusi akan terus berlangsung, homo sapien kini akan bertransisi menjadi homo digitalis. Dari banyaknya permasalahan pendidikan yang terjadi, kemampuan kita untuk mengantisipasi sangat dibutuhkan. Tanggung jawab bukan lagi hanya dipegang oleh pemerintah dan lembaga terkait, namun seluruh pihak ikut berperan dalam menangani hal tersebut. Mulai dari pelajar yang harus lebih aktif, peka dan giat mengeksplorasi materi yang akan atau sudah diterima, serta maksimal dalam mengikuti prosedur pembelajaran gaya baru ini. Ditambah tenaga pendidik atau pihak kampus yang harus sudah mulai membuka diri dengan gencar melakukan analisis metode pembelajaran yang tepat bagi peserta didiknya, seperti menyebarkan kuisoner kritik dan saran melalui platform Google Form terhadap peserta didik. Setelah itu pemetaan dilakukan agar tindakan yang akan diambil selaras dengan kebutuhan, pertimbangan kebijakan di tiap sekolah adalah hal penting untuk menunjang keberhasilan konsep belajar dari rumah. Dalam Perguruan Tinggi, sudah familiar kita dengar istilah Merdeka Belajar, setelahnya kita kenal dengan tajuk Kampus Merdeka, selaras pada cita cita Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim. Apa yang dihadapi saat ini akan menjadi dorongan kuat untuk merealiasikan hal tersebut, mahasiswa dituntut untuk belajar dan memahami materi secara merdeka, bebas, aktif dan kreatif. Berangkat dari itu, kemampuan kognisi mahasiswa akan sangat diperlukan, karena kemandirian dalam belajar akan erat dan berpengaruh besar pada metode ajarnya. Tetapi peran aktif dosen beserta fasilitasnya juga ikut menyertai. Penyampaian materi dosen terhadap mahasiswa tidak bisa lagi sebatas mengirimkan jurnal atau semacamnya pada grup WhatsApp atau Google Clasroom, kreatifitas dosen untuk membuat sebuah tayangan berupa audio visual menjadi daya tarik tersendiri agar mahasiswa bisa tetap merasakan atmosfer ruang kelas meski hanya berada di dalam kamar. Terlebih ketika video yang ditayangkan berisi gambar gambar pendukung yang menarik dan sesuai. Adapun mengenai kuota belajar, sebagian sudah mendapat bantuan kuota belajar baik dari pemerintah maupun pihak kampus tertentu, itu sudah menjadi solusi dari permasalahan ini namun tidak untuk masalah cakupan jaringan.
Kesadaran dosen mesti diperkuat, perannya sebagai pembimbing dituntut agar lebih interaktif dan tidak malas untuk saling tukar pikiran melalui video-conference. Kuliah tatap muka pun bisa dilakukan dengan tetap memenuhi protokol kesehatan, artinya ada perpaduan antara kuliah daring dan kuliah luring. Kombinasi antara pembelajaran konvensional dengan pembelajaran mandiri serta pembelajaran online bisa dilakukan sebagai proses perpaduan menuju pendidikan masa depan.
Penulis : Feri Febriana
Editor : Tim Editor Naraya News