Opini, Naraya News - 76 tahun sudah Indonesia merdeka dari kolonialisme dan imperialisme asing. Sudah seharusnya kemerdekaan itu wajib kita jaga agar sejarah tersebut jangan sampai terulang kembali. Kolonialisme sendiri diartikan sebagai penguasaan suatu wilayah beserta sumberdaya alam tertentu untuk dibawa ke negeri asal penjajah tersebut. Sedangkan imperialisme diartikan sebagai suatu sistem politik yang bertujuan untuk menguasai negara lain dalam memperoleh kekuasaan dan keuntungan dari negara yang dikuasainya. Terlepas dari penjajahan asing, tentunya Indonesia merdeka bukan serta-merta atas kebaikan pemerintah Jepang memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tetapi itu semua berkat rahmat dan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa serta perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme asing.
Banyak sekali bentuk (alat) perjuangan rakyat Indonesia ketika melawan penjajahan asing, salah satunya adalah mural. Mural merupakan salah satu karya seni lukis yang dilakukan pada media permanen seperti tembok, dinding dan permukaan luas. Mural sendiri memberikan kebebasan bagi para pembuatnya untuk mengekspresikan kreativitasnya kedalam media permanen seperti yang disebutkan di atas. Karya seni mural ini sangat populer dikalangan anak muda, dimana banyak yang berpendapat jika mural yang digambarkan merupakan sebuah cerminan atau perasaan sang pembuatnya.
Sejarah mural dalam kemerdekaan Indonesia dijadikan sebagai alat perjuangan. Tahun 1945, disepanjang jalan penuh dengan tulisan moral dan perjuangan. Harry Poeze dalam bukunya berjudul Tan Malaka, Gerakan kiri, dan revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, Jilid pertama yang diterbitkan tahun 2008, menjelaskan tentang situasi pasca kemerdekaan.
"Kota-kota mulai dipenuhi dengan pamflet dan coretan-coretan tembok, menggelorakan semangat perjuangan untuk melawan musuh" tulisnya.
Tan Malaka dianggap sebagai aktor yang menggelorakan semangat perjuangan melalui mural. Ia mengajak segenap pemuda untuk 'menggoreskan' pekikan kemerdekaan di tembok-tembok jalanan. Dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kalimat-kalimat penyemangat dituliskan oleh mereka. Semua terjadi pasca Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Semangat nasionalisme coba dibangkitkan melalui mural.
Harry Poeze dalam tulisannya menyebutkan, "Ahmad Soebardjo meminta nasihat kepada Tan Malaka untuk melakukan propaganda dengan semboyan-semboyan menggelorakan perjuangan". Tan Malaka kemudian melibatkan para pemuda untuk melakukan aksi mural dan coret-coret di jalanan, serta menyebar pamflet di mobil dan kereta yang bergerak ke luar Jakarta. "Semangat mati-matian ditunjukkan para pemuda untuk melawan musuh" tulisnya seperti yang dikutip dari nationalgeographic.
Namun sekarang ini mural menjadi kontroversial dikarenakan mengganggu pemandangan sudut kota. Sangat disayangkan menganggap mural sebagai bagian yang mengganggu, hal tersebut sama dengan menghalangi kebebasan berekspresi. Apapun itu jangan sampai kita lupa bahwa dahulu mural sendiri dijadikan sebagai senjata perjuangan untuk melawan segala bentuk penjajahan asing.
Penulis : Gus Amad